#navbar-iframe { height:0px; visibility:hidden; display:none }

Rabu, 10 Februari 2010

FIGUR PEMIMPIN IDEAL

0 komentar

Kepemimpinan merupakan kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa ada kepemimpinan, maka tatanan kehidupan masyarakat akan kacau. Pemimpin yang jujur, amanah, adil dan peduli rakyat adalah dambaan masyarakat. Itulah sebabnya seorang Irwandi, Gubernur Aceh, berani menghabiskan uang begitu banyak untuk mengadakan fit and proper test (uji layak kelayakan dan kepatutan), hanya untuk mencari figur pemimpin institusi Pemerintahan Aceh yang berkualitas. Dalam konteks Aceh, ini suatu terobosan baru dalam penjaringan pemimpin (kepala dinas).

Belakangan ini, banyak ditemukan pemimpin yang cerdas akal tapi “tidak cerdas hati” terjebak dalam perilaku menyimpang dan bersikap hedomistik buat memuaskan hawa nafsu pribadi, keluarga dan kelompoknya. Kasus seperti suap, korupsi, illegal logging dan mesum adalah realita serangkaian maksiat yang dilakukan oknum berdasi dan terhormat.

Hampir setiap hari dalam surat kabar diberitakan penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan oleh pemimpin suatu daerah, instansi (dinas) pemerintahan dan lembaga swasta lainnya, khususnya di Aceh. Adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan mantan pejabat di daerah Aceh mulai dari gubernur, bupati, kepala dinas dan instansi/badan pemerintahan lainnya pada masa kepemimpinannya menjadi berita headline yang menghiasi media cetak saat ini. Semakin gencar pemerintah pusat mengkampanyekan slogan anti korupsi, semakin banyak pula koruptor baru yang lahir, bahkan secara jama’ah pula. Mereka berlomba-lomba untuk memperkaya diri selama masih mempunyai kesempatan tanpa ada rasa malu kepada Allah Swt dan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa moral pemimpin kita pada titik nadi yang paling rendah. Tidak ada sifat jujur, amanah, adil dan malu merupakan faktor utama terjadinya korupsi dan praktek maksiat lainnya. Fenomena krisis figur kepemimpinan seperti ini sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu, bulan maulid merupakan momentum yang tepat bagi pemimpin saat ini untuk menjadikan Rasulullah saw sebagai figur dan panutan dalam memimpin dan bermuhasabah (introspeksi diri) sejauh mana mereka memberi kesejahteraan dan “keberkahan” bagi rakyat di masa kepemimpinannya. Konon lagi, pemilu 2009 sudah diambang pintu. Tinggal hitungan hari. Maka, kita hendaklah nantinya memilih figur pemimpin yang ideal dan bermoral seperti Rasulullah saw. Kita tidak ingin mengulang kesalahan dalam memilih pemimpin, yang efeknya dapat merugikan negara dan menyengsarakan rakyat dalam rentang waktu yang cukup lama.

Figur Teladan
Sebagai ummat Nabi saw, kita diperintahkan oleh Allah Swt untuk mentaati dan mengikuti Nabi saw dengan mengamalkan sunnahnya dalam kehidupan sehari-hari. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri (penguasa) di antara kamu”. (QS. An-Nisa’: 59).

Rasul saw adalah seorang hamba Allah yang memiliki akhlak mulia. Sosok kepribadian beliau yang agung merupakan aplikasi dari ajaran Al-Quran. Ibaratnya, beliau adalah Al-Quran yang berjalan. Memang, karena Aisyah ra sendiri menegaskan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah Al-Quran. Bahkan Allah swt telah memuji akhlak beliau yang agung sekaligus memberikan rekomendasi bagi manusia sekalian untuk menjadikannya figur teladan dalam kehidupan ini, sebagaimana firman-Nya: “Sesunggguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab: 21). Hal ini ditegaskan pula di dalam ayat yang lain mengenai keagungan dan kemuliaan budi pekerti: “Sesunggguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Al-Qalam: 4).

Luar biasa..Predikat dan pujian ini langsung datang dari Allah Swt, karena akhlak beliau yang mulia. Maka tidak heran bila dalam waktu yang relatif singkat, beliau berhasil berdakwah dan menegakkan syariat Islam di muka bumi ini, dengan membawa peradaban Islam yang mulia dan terhormat menggantikan peradaban jahiliah yang hina dan zalim. Inilah rahasia kesuksesan dakwah Rasulullah saw yaitu akhlak mulia.

Dari konteks inilah, tak heran bila Mikhail H Hart, dalam buku fenomenalnya The 100 a Rangking of The Most Influential Persons in History (Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah;1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad, Muhammad adalah satu-satunya yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.

Karakter Sosok Pemimpin Ideal
Muhammad SAW di samping sebagai seorang Rasulullah, beliau juga sosok pemimpin yang ideal dan sejati. Sebagai seorang pemimpin, beliau memiliki ketauladanan yang baik yang patut dicontoh oleh pemimpin kita saat ini.

Beliau adalah seorang pemimpin yang jujur, amanah dan adil, bukan pemimpin yang korup, nepotisme dan zalim. Beliau seorang pemimpin yang berani menegakkan “syariat Islam” di muka bumi ini, membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan, bukan pemimpin pengecut dan takut kehilangan jabatan dan kekuasaannya. Sosok seorang pemimpin yang dermawan, pemurah dan peduli rakyat (umatnya), bukan pemimpin yang kikir dan hanya memperkaya diri sendiri dan keluarganya.

Beliau adalah pemimpin yang wara’ dan bertakwa, bukan pemimpin yang fasiq dan munafiq. Seorang pemimpin yang rendah diri dan tawadhu’, bukan pemimpin yang sombong dan angkuh. Seorang pemimpin yang murabbi (pendidik) dan muallim (pengajar), bukan yang hanya pandai bicara dan perintah saja. Ketika menasehati dan memberi ilmu, maka beliaulah yang pertama yang mengamalkan ilmu dan nasehatnya. Sosok pemimpin yang sederhana dan zuhud, bukan pemimpin yang hidup mewah dan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.

Bukan hanya itu, beliau adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah. Setiap harinya beliau bertistighfar dan bertaubat sebanyak lebih tujuh puluh kali (H.R. Bukhari), dalam riwayat yang lain disebutkan seratus kali (H.R Muslim). Padahal, kalaupun ada kesalahan dan dosa, maka telah diampuni Allah sebelum dan sesudahnya, bahkan beliau adalah seorang manusia yang telah dijamin Allah masuk surga. Ditambah lagi dengan ibadahnya yang sungguh-sungguh dan berkualitas memberi motivasi dan menjadi contoh bagi umatnya. Inilah pemimpin yang ideal yang tidak hanya memancarkan kesalehan pribadi, tapi juga kesalehan sosial.

Nah, bagaimana dengan karakter pemimpin kita saat ini? Sudahkah pemimpin kita menjadikan Rasulullah sebagai panutan dan model kepemimpinan mereka? Kita sangat mendambakan karakter pemimpin ideal seperti Rasulullah SAW dan para khulafaur rasyidin. Tidak ada kata mustahil menjadi seorang pemimpin ideal seperti Rasulullah. Sejarah mencatat bagaimana kepemimpinan para khulafaur rasyidin, Muawiyah, Umar bin Abdul Azis, Harun Ar-Rasyid, Salahuddin Al-ayyubi dan para pemimpin Islam lainnya pada zaman kekhilafan Islamiah, yang telah membawa Islam kepada puncak kejayaan kejayaan dan zaman keemasan. Kuncinya, mereka mencontoh dan menerapkan model kepemimpinan Rasulullah SAW. Al Quran dan Hadits adalah pedoman dalam kehidupan mereka.

Allah SWT memerintahkan kita untuk mengikuti dan mentaati beliau. Selain itu, beliau memang diutus dan dijadikan Allah sebagai sosok figur dan suri tauladan bagi umatnya. Beliau adalah manusia biasa seperti kita, bukan malaikat (QS. Al-Kahfi: 110). Maka tidak ada kata mustahil meneladani beliau. Selama ada kemauan, pasti ada jalan.

Sebagai penutup, marilah kita menjadikan peringatan maulid ini sebagai momentum untuk introspeksi diri sejauh mana kita mencintai Rasul dan menjadikannya sebagai figur dan model pemimpin kita. Kita berharap kepada para pemimpin kita agar dapat menjalankan amanah dengan baik dan bertakwa kepada Allah SWT, karena setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya di pengadilan akhirat nantinya. Semoga para pemimpin kita diberi taufik dan hidayah oleh Allah SWT agar dapat mencontoh Rasulullah SAW dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Dan semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai dan dicintai Rasulullah dengan menghidupkan sunnahnya dan menjadikannya qudwah hasanah (suri tauladan), terutama untuk memilih figur seorang pemimpin saat ini.

Oleh M. Yusran Hadi, Lc., MA, Dosen fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Direktur TB. Madinah B. Aceh.
ReaD MorE...

Minggu, 07 Februari 2010

Dakwah Islam di Penjara AS

0 komentar

Dakwah Islam di Penjara-Penjara AS, Banyak Tahanan Masuk Islam
Para tahanan di lembaga pemasyarakatan Monroe Correctional Complex, AS dengan tertib keluar sel masing-masing begitu mendengar pengumuman dari pengeras suara bahwa waktu istirahat tiba. Para tahanan bergerombol memanfaatkan waktu istirahat mereka dengan menghadiri sejumlah kelas bimbingan atau sekedar membaca buku ke perpustakaan. Tapi diantara mereka, ada sekelompok tahanan yang mengenakan peci berbentuk bulat, menuju ke sebuah ruangan yang tak berjendela.

Mereka membuka sepatu sebelum masuk ruangan, kemudian duduk sambil melemaskan kaki mereka di atas karpet tipis yang digelar di ruangan tersebut. Ya, mereka adalah para tahanan yang beragama Islam yang biasanya mendapatkan layanan rohani dari ustadz pembimbing mereka. Kebanyakan para tahanan itu adalah para mualaf, yang masuk Islam saat menjalani hukumannya di penjara.

"Penjara bisa menjadi kuburan atau menjadi rahim," kata mereka. Para penghuni penjara punya pilihan apakah akan menghabiskan waktuny di dalam penjara dengan meratapi nasibnya atau memanfaatkan waktu untuk meredam rasa marah atau rasa takut bahkan rasa putus asa yang mendera diri mereka. Dan Anthony Waller, salah seorang tahanan memilih pilihan kedua. Seperti banyak Muslim lainnya di kawasan Twin Rivers, Waller masuk Islam ketika berada di balik jeruji besi penjara.

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Waller mengaku kehidupannya banyak berubah. "Kalau saya tidak menjadi seorang Muslim, saya kemungkinan masih berada dalam pengawasan ketat atau mungkin saya sudah mati," ujar Waller,31, seraya mengatakan betapa ketatnya penjagaan dan kontrol di penjara.

Masa hukuman Waller baru akan berakhir tahun 2033. Selama di dalam penjara Waller menghadiri bimbingan rohani Muslim setiap seminggu sekali dengan belasan tahanan Muslim yang lebih dulu menjadi mualaf. Dan ternyata "kelompok Muslim" adalah kelompok yang paling cepat berkembang di sejumlah lembaga pemasyarakatan di AS, artinya, jumlah tahanan yang masuk Islam bertambah dengan cepat.

Bimbingan rohani Islam di penjara-penjara AS dimulai pada era tahun 1970-an atas prakarsa pemimpin organisasi Muslim Nation of Islam, Louis Farrakhan. Profesor di Vassar College, Lawrence Mamiya yang meneliti keberadaan tahanan Muslim di penjara-penjara AS mengatakan, keterlibatan para imam Muslim di AS sangat efektif dalam upaya rehabilitasi keagamaan para tahanan.

Menurut Mamiya, dipekirakan 10 persen dari seluruh tahanan yang ada di penjara AS memilih masuk Islam. Itu artinya, sekitar 1.800 dari 18.000 jumlah tahanan di penjara-penjara AS menjadi seorang Muslim. Tapi, kata Mamiya, hanya satu dari lima mualaf yang masuk Islam selama di penjara tetap menjaga keislamannya setelah menghirup udara bebas. Hal ini membuat sejumlah pengamat di AS berpendapat bahwa "Islam di Penjara" bukan sebuah gerakan religius tapi lebih pada taktik yang dilakukan oleh sebuah genk di dalam penjara yang ingin mendapatkan perlakuan khusus atau istimewa, antara lain diberikan ruang tersendiri yang dilengkapi karpet.

Daya Tarik Islam

Namun pendapat itu dibantah oleh sejumlah imam yang sering memberikan layanan rohani di penjara. Mereka mengatakan bahwa banyak diantara para mualaf di tahanan yang memang tulus ingin menjadi seorang Muslim.

Faheem Siddiq, yang sudah lebih dari lima tahun memberikan bimbingan rohani Islam di sejumlah lembaga pemasyarakatan di AS mengungkapkan, tahanan yang masuk Islam kebanyakan tahanan dari kalangan keturunan Afrika Amerika. Mereka tertarik masuk Islam, kata Siddiq, karena ajaran Islam yang tentang kedisiplinan dan kesetaraan antara sesama manusia.

"Di negara bagian Washington, dari Walla Walla sampai McNeil Island, mayoritas mualaf adalah kalangan warga Amerika keturunan Afrika yang berpendapatan rendah, mereka punya kesempatan di tengah situasi yang tenang untuk melakukan introspeksi dan mengubah kehidupan mereka," kata Siddiq.

Profesor Mamiya juga mengakui tahanan Muslim lebih memiliki rasa tanggung dan disiplin. Tahanan Muslim juga saling melindungi dan rasa setia kawan yang tinggi, mengingat kehidupan penjara yang keras. Namun, kata Mamiya, tahanan Muslim memahami Islam mengajarkan etika ketika seseorang harus mempertahankan diri.

"Ajaran ini yang menjadi salah satu daya tarik bagi para tahanan untuk memeluk Islam," kata Mamiya.

Setiap tahanan yang memilih menjadi seorang Muslim, punya alasan masing-masing. Salah seorang tahanan yang masuk Islam sejak 11 tahun yang lalu, Walter Taylor menuturkan kisahnya mengapa ia memilih menjadi seorang Muslim.

"Dalam agama Kristen, Yesus Kristus mati untuk menebus dosa. Dalam Islam, tidak dikenal penebusan dosa, tidak ada yang dikambinghitamkan untuk menebus dosa," kata Taylor.

Setelah menjadi seorang Muslim, bersama dengan tahanan Muslim lainnya, Taylor selalu berusaha menunaikan kewajiban salat lima waktu setiap hari. Salat bagi Taylor, ibarat pengingat yang menuntunnya untuk tetap di jalan yang lurus, jalan Islam.

Lain lagi pengalaman Phil Thomes, ia mengatakan,"Menjadi seorang Muslim adalah hal tersulit yang mungkin bisa Anda lakukan. Menjadi seorang Kristiani saja tidak cukup. Sekarang, Islam total menjadi cara hidup saya, yang memang ingin melakukan perubahan"

"Saya bukan orang yang jahat lagi. Saya benar-benar sudah menjadi orang yang baru," tukas Thomes yang sudah menjalani masa tahanan selama 12 tahun.

John Barnes, yang juga menjadi pembimbing rohani di penjara-penjara AS mengatakan, kebanyakan tahanan yang pindah ke agama tertentu menunjukkan perubahan yang drastis selama berada dalam penjara.

"Mereka mengubah karakter mereka. Mereka lebih bertanggung jawab, tidak egois dan mau berbaur serta terlibat dalam tim. Saya sering melihat perubahan itu," ujar Barnes. (ln/isc/Heraldnet)
http://eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/dakwah-islam-di-penjara-penjara-as-banyak-tahanan-masuk-islam.htm
ReaD MorE...

Sabtu, 06 Februari 2010

Etika Tharekat

0 komentar

Antara Murid Dan Guru
Dr. Hj. Ummu Salamah


Setiap murid tidak boleh tergesa gesa dalam segala hal. Kaidah hidup yang mengingatkan: “tidak pernah menyesal orang yang istikharah, menyerahkan pilihan akhiratnya kepada Allah, dan tidak pernah rugi orang yang musyawarah”, harus senantiasa menjadi acuan dalam mengambil setiap keputusan penting. Karenanya, seorang murid tidak boleh tergesa-gesa mentadbir dan mengambil kesimpulan mengenai masalah masalah unik yang bersifat spiritual yang menimpanya. Ia harus menyampaikannya kepada guru untuk mendapat pertimbangan. Jika belum terjawab, ia harus diam dan menunggu, karena ia yakin bahwa diamnya guru dalam masalah unik spiritual ini memiliki makna hikmah yang bernilai luhur. Boleh jadi, rentang waktu dan peluang kesempatan lebih memiliki makna kearifan ketimbang ketergesa-gesaan.

Setiap murid harus merendahkan suara di majelis gurunya. Ia tidak boleh menunjukkan sikap dan perilaku tercela serta tidak pantas. Ia tidak boleh meninggalkan majelis guru untuk pulang sebelum waktu. Ia harus menyimak perkataan guru, serta setiap isyarat yang disampaikan oleh gurunya dengan ikhlas dan kearifan. Ia tidak boleh membebani guru dengan berbagai pertanyaan dan informasi yang memusykilkan dan cenderung memberatkan guru.
Setiap murid harus menjaga perasaan gurunya berkenaan dengan keyakinan, hati nurani dan kejiwaannya. Ia tidak boleh menantang wajah guru, agar tidak tertutup hikmah dan kearifan yang terpancar dari cahaya kerahmatan. Suatu dialog antara murid dengan guru, antara murid dengan sesama, dan antara murid dengan masyarakat luas harus mencitrakan suasana dan rona kritis, namun santun, serta penuh kehangatan dan keakraban. Suatu polemik yang tidak etis dan tak terpuji, akan menyebabkan tertutupnya hikmah Ilahiyah dan kearifan yang senantiasa menaungi setiap majelis ilmu.
Setiap murid tidak boleh menukil atas nama dirinya terhadap setiap pernyataan tanpa menyebutkan sumbernya. Ia juga tidak boleh menukil pemyataan guru atas nama dirinya, dan ia boleh menyampaikannya sekedar untuk kepentingan seiring dengan pernahaman orang yang diajak bicara, dan telah mendapat izin untuk disebarkan oleh gurunya. Ia senantiasa harus menjaga kejujuran moral dan intelektual, serta integritas keilmuannya.
Setiap murid tidak boleh menyembunyikan misteri, rahasia spiritual dirinya di hadapan guru. Ia harus meyampaikan dan menjelaskan pengalaman spiritualnya kepada guru secara komprehensip (terbuka), tulus dan jujur. Ia harus memaparkan dengan sungguh-sungguh setiap kata hati, kasyaf, karomah, dan keseluruhan upaya spiritualitasnya kepada guru.
Setiap murid tidak boleh memperlakukan guru semaunya. Ia tidak boleh menghadap guru mendadak tanpa mengenal waktu. Ia tidak boleh menghadap guru ketika guru dalam keadaan sibuk atau istirahat. Jika murid mempunyai kepentingan dengan guru jangan sekali kali menyuruh orang lain. Ia tidak dibenarkan mengganggu dan merepotkan guru dengan membebani kehidupan, dan jika berbicara dengan guru hendaknya mengenai hal-hal yang lebih memiliki makna pencerahan dan menyenangkan. Ketika ia berbicara dengan guru, pembicaraanya hendaknya penuh perhatian dan beradab sopan santun.
Jangan sekali kali menggunjing, mengolok olok, mengumpat, mengkritik, dan menyebarluaskan aib guru kepada orang lain. Murid tidak boleh gundah atau menyesali kepada guru, jika guru menghalangi maksud dan tujuan murid. Murid harus yakin dan sadar, bahwa setiap keputusan guru mengandung kearifan dan hikmah yang luas. Murid hendaknya menjaga kehalusan budi dan jiwa guru, agar senantiasa terpancar cahaya rahmaniyah hati guru kepadanya. Hubungan guru dengan murid dengan paradigma bahwa setiap mukmin adalah cermin terhadap sesama.
Apabila guru memerintahkan sesuatu, murid harus melaksanakannya, walaupun terasa berat menurut pertimbangan nafsunya. Murid harus yakin dan sadar bahwa setiap perintah guru mengandung inti kearifan dan hikmah yang luas. Jika murid mengundang guru hadir di tempat tinggalnya, jangan sekali kali memaksa. Tetapi mintalah sesuai dengan kelonggaran dan keleluasan yang menyenangkannya. Apabila guru tidak bisa hadir secara pribadi, maka murid harus yakin, bahwa rohani guru dan do’a restunya hadir di tempat murid. Hati murid senantiasa diliputi rasa bahagia dan rasa senang kepada guru dan keluarganya.
Jangan sekali kali mengucapkan perkataan: “dahulu adalah guruku, dan sekarang bukan”. Jangan sekali-kali menyebut mantan guru kepada gurunya, karena ia bukan muridnya lagi. Jangan berseberangan dengan guru karena sesuatu kesalahan yang lalu dari guru kepadanya. Apabila guru wafat, murid tidak boleh mengawini janda gurunya. Jika ia ingin berkhidmat, bisa mengawini dengan salah seorang anaknya. Anggaplah anak guru sebagai saudara. Sesungguhnya, guru adalah bapak spiritual, sedangkan bapak kandung, adalah bapak jasmani fisik.
Tradisi dan akhlak tarekat juga dipelihara melalui peneguhan tatakrama adab dan sopan santun kepada sesama ikhwan. Intinya adalah memancarkan kesejatian persaudaraan yang digambarkan oleh nabi Muhammad s.a.w., yaitu: “Perumpamaan dua orang bersaudara adalah sebagaimana dua tangan, ia saling membersihkan antara satu dengan yang lainnya. ” Dan, ” seorang mukmin dengan mukmin yang lain, bagaikan bangunan yang satu dengan yang lain saling menyangga.” Seseorang harus tetap menjaga harkat, martabat dan kehormatan sesama ikhwannya (saudara) ketika ia hadir atau tidak. Seseorang harus menjaga perasaan sesama ikhwannya terhadap siapa dan apa yang tidak disukainya, sebagaimana juga ia menginginkan sikap itu dari sesama ikhwannya.
Setiap murid, hendaknya berusaha agar senantiasa menyenangkan sesama ikhwannya dengan sesuatu yang menyenangkan dirinya, dan sama sekali tidak boleh mengistimewakan dirinya. Apabila bertemu sesama ikhwan, segera ucapkan salam, mengajak berjabat tangan dan bermesra mesraan, serta bermanis manis kata, serta mempergauli mereka dengan akhlak mulia. Perlakukan mereka sebagaimana dirinya sendiri ingin, atau suka diperlakukan. Selanjutnya merendah hati dan merunduk dengan santun kepada mereka.
Usahakan agar mereka senantiasa suka. Pandanglah mereka dengan lebih berperhatian dan lebih baik ketimbang dirinya sendiri. Menghidup hidupkan tolong menolong dalam kebaikan dan kebajikan atas dasar taqwa dan cinta kepada Allah. Tentunya, tidak tolong menolong dalam mengembangkan permusuhan. Apabila berhadapan dengan yang lebih tua, mintalah bimbingannya, dan jika berhadapan dengan yang lebih muda, bimbinglah. Santun dan lemah lembut dalam menyapa dan menasehati sesama ikhwan. Jangan berperasangka, lebih lebih berperasangka buruk kepada sesama ikhwan. Jika melihat keaiban seseorang ikhwan, segera katakan pada diri sendiri: “jangan jangan ini juga terjadi pada diri saya”, sesungguhnya setiap mukmin itu adalah cermin bagi sesamanya yang lain.
Jika terjadi pertikaian atau perselisihan di antara sesama ikhwan, damaikanlah. Jangan sekali kali mernihak kepada salah satu dari padanya. Damaikan dengan kelembutan dan persahabatan. Jangan sekali kali menyudutkan salah satunya. Jadilah teman yang baik pada setiap saat dan keadaan, dan jangan lupa berdo’a untuk ikhwan, agar Allah senantiasa menaburkan rahmat, ampunan dan ridlo selamanya.
Hendaknya memberikan tempat duduk di setiap majelis kepada ikhwan dengan tulus dan penuh perhatian. Tidak berpaling dan mereka, dan senantiasa mendukung mereka secara moral, dan kalau bisa secara material. Menjaga martabat dan kehormatan sesama ikhwan adalah suatu kewajiban termulia. Apabila berjanji penuhilah, karena janji adalah hutang. Siapa yang tidak memenuhi janji, Allah tidak akan pernah memenuhi janji Nya kepada hamba itu. Menyalahi janji adalah termasuk nifak. Menyalahi janji juga merusak persahabatan. Merusak janji akan menimbulkan saling benci dan tidak percaya.
Tradisi dan akhlak tarekat juga clipelihara dengan meneguhkan tatakrama adab dan sopan santun kepada diri sendiri. Tidak berbuat sesuatu yang menjadikan dirinya tercela dan mengecewakan. Tidak memelihara sikap dan perilaku tidak terpuji, menjatuhkan martabat dan kehormatan, serta cacat akhlak yang tak termaafkan. Karenanya, jika berjanji dipenuhi, dan jika dipercaya tidak khianat. Jika bergaul dengan orangtua, hormat kepadanya, dan jika bergaul dengan yang muda, cintakasih kepadanya, jika terlanjur jatuh pada kata dan perbuatan yang tidak pantas, segera sadar dan menjauh.
Hendaknya selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilal, moral, dan etik. Menyadari bertatakrama secara sopan, dan adab . Sadar bahwa Allah senantiasa hadir dan bertahta di jantung hati sanubarinya. Allah melihat seluruh gerak hati dan jiwanya. Ingat kepada Allah adalah pakaian kesehariannya. Karena ingat kepada Allah bermakna liputan cahaya Nya bagi dirinya di tengah tengah masyarakat lingkungannya.
Ia senantiasa bergaul dengan orang orang baik dan saleh. Bergaul dengan orang saleh dan baik memiliki aksi dan refleksi pancaran kebaikan yang tak terhingga. Selanjutnya tidak boleh bergaul dengan orang yang jelek perilakunya. Bergaul dengan orang yang berperilaku jelek, akan melahirkan penyimpangan dan kecenderungan perilaku yang makin jelek. Sesungguhnya, setiap pergaulan apapun mesti mempengaruhi dan membentuk akhlak dari sikap dan perilakunya.
Hendaknya tidak berlebih lebihan dalam segala hal. Utamanya, tidak berlebih lebihan dalam makan, minum, berpakaian, dan berhubungan badan dengan isteri. Setiap hal yang berlebihan, akan menyebabkan kerasnya hati, tumpulnya pikiran, tidak tajamnya ‘ain basyirah (mata batin), tidak jernihnya jiwa, serta malasnya anggota badan untuk beribadah. Mata akan buta, telinga akan tuli, ketajaman jiwa akan tumpul terhadap setiap nasehat.
Jika suatu saat merasa berat melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah, hendaknya berusaha untuk membangkitkan rasa sadar dan yakin diri, bahwa payahnya kehidupan di dunia ini, adalah sangat pendek waktunya, ketimbang dengan pertanggungjawaban kelak yang harus dipikul di akhirat.
Demikianlah moralitas dan etika tarekat, yang senantiasa harus dipelihara, agar tetap terjaganya tradisi dan akhlak tarekat, senantiasa tetap bersumber dari, dan bermuara kepada tasawuf yang menyatu dan bersatu dasar dengan tradisi dan akhlak kenabian.
Berbagai tarekatberkembang di dunia Islam, diantaranya tarekat yang mempunyai pengaruh besar sampai saat ini seperti: tarekat al Qadiriah yang didirikan oleh Syekh al Qadir al Jailani yang lahir pada tahun 470 H, dan meninggal pada tahun 561 H di Bagdad; tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al Rifa’iyah yang berasal dari sebuah kabilah Arab, yaitu Bani Rifa’ah, ia meninggal pada tahun 578 H; Tarekat asy Syadziliyah yang didirikan oleh Abu al Hasan al Syadzili yang berasal dari Syadhilah, Tunisia, ia meninggal pada tahun 686 H; Tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Bahauddin Naqsaband al Bukhari (719 791 H); Tarekat al Suhrawardiyah yang didirikan oleh Abu Najib al Suhrawadi (490 565 H), dan Tarekat al Tijanniyah yang didirikan oleh alSyekh Abu al Abbas Ahmad Ibn Muhammad al Tijani (17371815), yang lahir pada tahun 1150 H di ‘Ain Madli, Aljazair.
(selesai)
ReaD MorE...

HILANGKAN SIKAP APRIOROI TERHADAP THAREKAT

1 komentar

Oleh: KH. M. Zein ZA. Bazul Asyhab
Perlu diingat oleh semuanya, baik oleh para sarjana atau profesor sekalipun agar jangan sampai melanggar adat. Karena ketinggian ilmu dalam tharekat tidak menjamin tingginya maqom (kedudukan) di dalam tharekat.
Dalam tharekat ada istilah “al-faidz” (limpahan). Siapa saja orang yang merasa paling bawah, maka dialah yang mendapatkan “al-faidz” tersebut.
Bersyukurlah orang yang sudah lama belajar dzikir (TQN), akan tetapi jangan sampai menepuk dada “Saya kan sudah 15 tahun lebih masuk tharekat, sedang Anda baru kemarin”. Karena terkadang orang yang belajar dzikir dengan ikhlas (walaupun baru) mampu melaksanakan perjalanan jauh dari bumi sampai ke Alam Lahut menembus Alam Malakut dan Jabarut dalam sekejap. Dimana kalau dilaksanakan oleh orang lain mungkin memerlukan waktu puluhan tahun.
Oleh karena itu didalam belajar tharekat tidak ada istilah depan-belakang. Mari kita belajar bertawadhu. Sehingga semakin dekat kita kepada Allah, maka kita semakin merasa jauh dari Allah. Semakin tinggi kedudukan kita, aka semakin merasa rendahlah kedudukan kita. Semakin kita bersih, maka semakin kita merasa lebih kotor. Karena orang yang tidak mengetahui dan tidak merasa kotor dirinya, maka dia tidak mau membersihkan diri.

Cobalah kita perhatikan orang gila yang memakai pakaian jelek dan kotor dilihat dhohirnya. Maka ketika kita tanya mengapa memakai pakaian jelek dan kotor, malah mungkin dia menjawab “Pakaian sebaik ini disebut kotor”. Jadi orang yang kotor tetapi tidak merasa kotor itulah sebenarnya orang gila. Sebaliknya orang yang merasa gila itu adalah orang sehat.
Ilmu dalam Islam itu benyak dan sangat luas. Dimanakah kita menemukannya ? Kita dapat menemukannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seluas apakah ilmu yang ada dalam Al-Qur’an itu ? Tidak bisa dibatasi, karena (syummul) mencakup semua isi kehidupan manusia, hewan, fauna, serta seluruh alam. Sebagaimana penegasan Allah dalam Al-Qur’an : “…tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) …” (Al-An’am : 38).
Begitu juga hadits Rosul sangat luas, walaupun tidak semuanya tercatat. Bersyukurlah orang yang bisa membaca dan memahami Shohih Bukhori 4 jilid misalnya, yang disyarahkan oleh “kastholani” dan “Fathul Bari”, serta sunan-sunan yang tujuh dan lainnya.
Akan tetapi kalau ada orang yang mengatakan suatu hadits yang tidak ditemukan dalam kitab hadits yang kita miliki, maka jangan dulu mengatakan : “Hadits itu dhoif, Laa ashla lahu (tidak ada asal usulnya)”. Mengapa ini perlu dijelaskan ? Karena kita mengetahui secara persis bahwa hadits yang banyak digunakan oleh Ahli Tasawuf seperti Imam Ghazali adalah kitabnya “Ihya Ulumuddin” banyak diberi catatan kaki dengan perkataan : “Laa Ilaaha ashla lahu (tidak ada asal usulnya hadits ini). Karena penulisnya tidak menemukan hadits yang dimaksud dalam kitab seperti Bukhori atau lainnya.
Padahal tidak semua yang diucapkan oleh Baginda Rasul dicatat, dikarenakan Rasul tidak mempunyai petugas khusus yang membawa handycam (perekam) kemana-mana.
Selain itu penulisan hadits itu hampir seratus tahun setelah Rasul wafat (Abad ke-2 H). Apalagi penulis hadits seperti Bukhari sangat berhati-hati dalam menulisnya. Sehingga adakalanya matanya sangat pendek sekali, sedangkan rawinya sangat panjang sekali.
Mengapa berbicara demikian ? Karena banyak orang yang membid’ahkan tharekat, mereka mengatakan “tidak ada dari Rasulnya dan tidak ada dalam haditsnya”. Apakah memang tidak ada dalam haditsnya atau mereka belum menemukannya ? apalagi yang belum ditemukan haditsnya, sedangkan yang sudah ditemukan saja susah untuk memahaminya secara betul. Contohnya seperti hadits : “Al-Mukmin mir-atu al-mukmin”. Selama ini maknanya bahwa kita harus menjadi cermin kepada orang lain, sehingga jangan menyakiti orang lain karena kitapun pasti sakit. Akan tetapi setelah dibaca “Sirrul Asror” Astagfirullah salah. Makna yang benar adalah al-mukmin pertama adalah hati orang mukmin itu harus seperti Al-Muhaemin (Allah SWT).
Ahli Tasawuf mempunyai teknis yang lain. Dikarenakan kholwat dan ibadahnya sangat bagus, maka Allah sangat ridho kepadanya, juga para Rasul sangat menyenanginya, para ahlinya sangat dekat dengannya. Sehingga Ahli Tasawuf atau orang yang tasawufnya sudah benar sering didatangi Rasul secara langsung. Pada saat pertemuan rohani seperti itulah seorang sufi bertanya kepada Rasul : “Berilah wasiat atau bertanya “Apakah ini kalammu ya Rasul ?”.
Sehingga dalam kitab tasawuf banyak hadits yang dicari dalam Bukhori tidak ditemukan, dikarenakan Bukhori memang tidak menulisnya.
Jadi jangan mudah membid’ahkan sesuatu yang belum mengerti betul seperti tharekat. Anda yang membid’ahkan tharekat , suka merokok tidak ? “Kalau suka, apakah Rasul merokok Gudang Garam atau 123 ? Kalau Rasul tidak merokok, berarti merokok bid’ah. Maka setiap bid’ah dholalah dan dalam neraka.
Oleh karena itu mari kita kembali kepada prinsip “Untuk apakah dzikir ?”. Dzikir adalah untuk membersihkan hati. Karena semakin kita tua, maka semakin besar dan tebal dosa kita. Dosa model lama belum ditinggalkan, sudah ditambah dosa model baru yang sering dilaksanakan. Contohnya : dulu selalu menjelekkan orang lain, sekarang masih suka. Sekarang ditambah TV/Film yang menayangkan porno, apakah dosa ? Ini baru dosa dhohir, belum lagi dosa bathin yang cikal bakalnya ada 7 : sombong, dengki, jelek adab, pemarah, tamak, malas, bathil.
Apakah dosa bathin itu ada dalam diri kita ? Fir’aun adalah sombong, apakah kita menjadi anak buahnya tidak ? Merasakah diri kita sombong ? Karena menurut Tanbih bahwa orang yang belajar dzikir itu perlu merasa dan merasakan. Inilah sebetulnya Fadhilah Allah (Keutamaan Allah) yang disimpan di PP. Suryalaya.
Seperti kalau kita bekerja diseseorang. Suatu hari dia (bos kita) datang dan kebetulan kita sedang bermain layang-layang diwaktu seharusnya bekerja. Akhirnya Bos kita berkata : “Kamu harus bekerja dengan betul!”. Malah kita menjawab : “Terserah saya saja, jangan ikut mengatur”. Coba anda ambil kesimpulan “Apakah kita itu seorang pekerja yang baik atau bukan ? Apakah kita pegawai sombong ?” berarti kita persis seperti Fir’aun.
Pernahkah kita ketika sedang enak bekerja atau bermain, lalu terdengar adzan terus saja bekerja atau bermain ? Walau tidak diucapkan, tetapi sikap Anda yang tidak peduli kepada Adzan berarti sama seperti berkata kepada Allah : “Hai Allah ! Jangan ikut mengatur ? Sedang enak kita kerja (main) malah disuruh sholat”. Pernahkah anda mengakhir-akhirkan sholat ? Berarti kita ini sombong dan menjadi anak buah Fir’aun. Sehingga oleh Fir’aun dianggap anak buah karena sombong, oleh Qorun juga dianggap abak buah karena bakhil. Merasakah kita ? Apakah perlu kita perbaiki atau tidak ? Disinilah pentingnya dzikir dan tharekat agar kita mampu membersihkan penyakit hati.
ReaD MorE...

Pentingnya Pengolahan Rasa

0 komentar

Kalau ingin badan sehat dan bugar maka lakukan olah raga, tapi kalau ingin pikiran ingin bahagia, damai, syukur dan bisa menikmati hidup maka lakukan olah rasa. Ilmu olah rasa yang saya maksud disini anda harus bisa mengontrol emosi, perasaan dan hati agar bisa merasa bahagia dalam kondisi yang sulit, sakit, miskin, terancam dan dalam menghadapi kepedihan hidup, serta menghadapi krisis multi dimensi yang saat ini anda rasakan.
Ingin Selalu Bahagia, Gunakan Ilmu Olah Rasa

Ilmu berati harus ada teknik dan tata cara menjalankan, beberapa orang bilang olah rasa itu seni, tapi yang saya maksud disini adalah mengkondisikan suatu keadaan dimana kita bisa mersakaan, atau seolah olah merasakan apa yang kita alami ini suatu kenikmatan bukan suatu kesengsaraan dan hukuman.


Contoh 1: Ketika Saya sakit

Saya saat ini sedang sakit alergi berat, pada saat gatal di seluruh tubuh begitu mengganas saya sering merubah rasa itu menjadai syukur dengan mesakan, membayangkan bahwa apa yang saya rasaykan ini belum apa apa dibanding saudara yang saat ini berbaring di rumah sakit karena luka parah, mebayangkan betapa kehidupan yang saya rasakan jauh lebih banyak nikmatnya, dalam pikiran saya, dalam jiwa saya dipenuhi dengan rasa syukur. Saya selalu membandingkan dengan orang lain yang lebih buruk seperti orang sesak nafas, orang yang kulitnya melempuh habis terbakar, dan orang yang menderita kencing manis dan kakinya busuk. Setelah bisa mengolah rasa maka langkah berikutnya adalah mencoba mencari dan instropeksi apa yang menyebabkan sakit, melakukan upaya-upaya nyata dalam mencari kesembuhan tanpa harus menyalahkan lingkungan, menyalahkan diri sendiri. Ini malah menjadi masalah baru dan tidak menjadi solusi.

Contoh 2: Ketika Saya Jatuh Miskin dan Banyak Hutang

Ilmu rasa yang saya pakai adalah teknik mengolah rasa agar pikiran dan perasan bisa saya kendalikan dan tetap bahagia lewat syukur. Kembali lagi dimulai dengan memperbanyak rasa syukur yaitu untung saya masih sehat, untung masih bisa makan, banyak orang di luar sana untuk makan hari ini saja tidak ada, plus ditambah tidak punya rumah, plus ditambah penderitaan diusir oleh anaknya yang durhaka. Hutang saya yang banyak hanyalah kebetulan atau suatu kesalahan masa lalu, kalau ada saya bayar kalau tidak ada diupayakan, jika terpaksa siap dipenjara. Waktu nanti saya dipenjara saya juga harus mengolah rasa bahwa masih beruntung hidup dipenjara masih ada rumah (yang sebelumnya tidur di emperan toko) plus dikasih makan tiap hari. Dengan demikian tidak ada lagi kesedihan tidak ada lagi putus asa. Yang tersisa adalah kerja nyata tanpa beban, tanpa diliputi oleh rasa bersalah yang belebihan sehingga malah menjadi kontra produktif dan akhirnya putus asa dan diakhiri dengan bunuh diri. Intinya dalam keadaan tidak punya uangpun harus tetap bahagia. Mana mungkin bisa kerja maksimal dan produktif tanpa pikiran yang tenang.

Contoh 3: Ketika Saya Ingin jadi Orang Kaya

Karena saya termasuk golongan petani miskin di desa maka yang saya banyangkan waktu itu adalah “Enaknya seandainya saya jadi orang kaya, bisa makan enak, bisa tidur enak, bisa punya rumah dan mobil” Tapi begitu semua itu sudah saya penuhi walah ternyata sifat manusia tidak pernah merasa cukup. Punya rumah satu ingin rumah dua, punya mobil satu ingin tambah lagi, sudah jadi kades ingin naik menjadi Bupati. yang lebih parang sudah punya hutang banyak ingin nambah lagi.

Itulah kalau bahagia diukur dengan materi, uang, jabatan, kekayaan dan kemewahan, tidak akan pernah merasa cukup, pesaaan tidak cukup adalah sifat angkara murka yang menggoda kita ke penderitaan, rasa cemas, dan takut kalau apa yang kita miliki hilang. Lebih parah lagi jika nafsu itu membawa kita ke jalan yang tidak baik dengan segala cara, tanpa memikirkan orang lain yang dikorbankan.

Maka selanjutnya adalah dari mengolah rasa menjadi kerja nyata bagaimana bisa menutup hutang, bagaimana membantu banyak orang, bagaimana bisa ikut andil dan berdharma bakti untuk negeri ini tanpa harus mikir diri sendiri lagi apalagi harus korupsi uang rakyat. Keinginan positip ini masuk dalam hati sehingga merasa senang kalau melihat orang lain sukses, merasa bahagia kalau orang disekitar semakin berdaya dan mandiri.

Ketika Blogger Sedang Menghadapi Krisis Keuangan Global

Ketika Review Sepi, PPS (Pay per sale) juga sepi, maka anggaplah ngeblog itu hobi, jangan terlalu matre. Ngeblog itu lebih baik dari pada anarkis. Gunakan ilmu rasa seolah olah anda adalah Bill Gate, orang kaya mikrosoft, rasakan pada hati yang paling dalam anda sedang membangun kerajaan bisnis online, jangka panjang, membuat portal seperti detik.com, sehingga dalam waktu 5 tahun anda akan menjadi orang terkenal plus orang dermawan dengan membagi bagi duit 10 persen hasil portal anda kepada blogger pemula yang masih susah agar para blogge akhirnya berdaya dan menjadi blogger mandiri seperti cita cita pakde yang belum kesampaian itu.

Nah dari pikiran yang tanpa beban itu maka anda tidak lagi mikir krisis, tapi kernya nyata untuk 5 tahun lagi, yang anda pikir adalah bagamana membuat blog berubah menjadi portal yang ramai pengunjung, yang ramai dengan iklan. Berfikir merdeka akan menghasilkan karya nyata yang benar benar bisa anda nikmati 5 tahun lagi.

Moral Cerita:
Jadi nikmatilah proses meskipun anda dalam kondisi tidak bedaya dan teraniaya, dengan kekuatan olah rasa maka penderitaan dan kemiskinan itu bisa berubah menjadi rasa syukur dan sikap positip yang membawa anda bersemangat dan bergairah untuk tetap berkarya.

Catatan: Ini bukan aliran atau paham, semoga jauh dari pemaksaan kehendak dan kekerasan.

ReaD MorE...

Your Inner Voice

0 komentar

by Dr. Rita Louise

Words are thoughts expressed which carry the message of our intentions with them. Our external speech can be thought of as a reflection or external manifestation of our inner programming. The words we use can tell us a lot about how or what we think. Words can be either charged with the positive energy of love, that helps us expand, or they are charged with the energy of fear, that causes us to shrink away from who we truly are.
Our words have power, and our speech has the power to set the energy or the directions we choose in our lives. If we say good and positive things, good and positive things (experiences) happen to us. These words give us the opportunity to experience life from a positive or optimistic point of view. If, on the other hand, we come from negativity and say negative things, accordingly, negative things happen to us or we end up seeing life as one big problem or disappointment.

While we are all familiar with our external speech or voice, we also have another voice that we work with and interact with daily. This is our "inner voice". While at first glance you may think: "what inner voice"? But when you come right down to it, we are all familiar with our inner voice. Our inner voice is that small utterance that comes from deep within us, whose job it is to provide us with guidance. This is a different kind of communication than what comes from our normal waking conscious, which I call our analyzer. When our analyzer is talking, the communication we receive tends to seem more like a nonstop conversation that goes on inside of our heads all day and sometimes well into the night.

It is through the mechanism of our inner voice that "spirit" communicates with us. It can be likened to the images portrayed on television of a little white angel standing on one side of our heads telling us the "right" thing to do, while our brain or analyzer stands on the other side (the little devil character), telling us what we "should" do, regardless of integrity or merit. Our inner voice can be thought of as our conscious, poking and prodding us into action or inaction as the case may be.

How many times has your inner voice told you to do something, you in turn choosing to ignore its promptings, only to find out it was a big mistake? I'll bet, in that moment, you say to yourself, "I should have listened to myself". Case and point, you were not paying attention to the guidance provided to you by your inner voice.

Your inner voice is there to help guide you along the path called life. Sometimes the promptings of our inner voice are subtle, reminding us to pay a bill or call a friend. Other times our inner voice can be more insistent, where it may seem as if it is nagging us, reminding us over and over of some unfinished business for perhaps days, weeks or even years.

Many people confuse thoughts or passing emotions for the information they receive from their inner voice. In fact, many of us confuse information provided by our brains, or analyzers for the inner promptings of spirit. But if you quiet your mind, you can easily tap into this information. This can be accomplished through meditation, quiet contemplation, exercise, art, dance and even music. Each of these activities helps to turn off our analyzer, allowing us to commune with our higher self, our spirit or the universe.

If these techniques aren't working for you, here is a good rule of thumb to follow. If your inner voice, those inner promptings that urge each of us into action lasts more than a week, i.e., you find the same thoughts and feelings coming back to you over and over again, then know that this is your inner voice looking for expression. Trust the information you are receiving, and use it to guide you into action

Our inner voice also works on another basic principal: if you ask yourself a question, you will always receive an answer. So if you ask, "What should I do now?" you will always be prompted as to your next step. At times you may receive a whole digression at to what you could or should be doing. Our inner self always provides us with information that is for our highest good, even if the tasks it requires of us are hard. It will always lead us on the right path, but it cannot compel us to follow. We were all provided with something called free will. It is our ability to choose what we want for ourselves. Bottom line, we can choose to follow spirit, or we can choose to take a different path.

When you listen to the prompting of spirit, life happens much smoother. Things that may have been a problem or issue, in the past, seem to be miraculously avoided and life is good. When you choose to not listen to spirit, it is as if you are taking your life into your own hands. Spirit will poke you and prod you, it will even nag at you with the things you should be doing.

The more you don't listen, or choose to not pay attention, the further and further you are moving from your center and your true path. Your inner self starts to become unbalanced. The more unbalanced you become, the stronger or louder the promptings become. Obstacles or tests are put in our path increase in intensity. Finally, the last straw is placed upon the camel's back. It is as if the universe smacks you up the side of the head with a 2 x 4, an index card pinned to the end of it, which reads "Are you ready to listen now?"

Listening to spirit, your higher self or the universe is all about trust…trusting that what you are being told or lead to do is what is best for you highest good. Trust is a challenge for many of us to master. Working with the promptings of our inner voice makes us acknowledge that we are not necessarily in control. I fact, it forces us to giving the steering wheel of our life over to someone else. It is hard for us to give up control of our lives. But once you choose to follow spirit by trusting and surrendering control, you will see miraculous changes happening in your life almost immediately.
ReaD MorE...

INTELLECTUAL ABILITY AND SPEED OF PERFORMANCE: GALEN TO GALTON

0 komentar

C. F. Goodey
The Open University
Although this is an overview of sorts, it is not intended to be comprehensive. I limit
myself to natural accounts of human intellectual ability, or to those with a self-
acknowledged claim to science of some kind, and I highlight certain periods which
attach a clearer value to speed than others. Nor could I possibly interrogate every
passing apparition that claims the title of “intellectual ability”. I begin by look-
ing for a framework that might accommodate its historically contingent character.
There follows the chronological account, then a synchronic reworking of it. Finally,
I examine the challenges thus posed to conventional ways of periodizing the history
of psychology.
THE CONCEPTUAL FRAMEWORK
I have used the term “intellectual ability” (not forgetting “disability”) to travel across
periods partly because it is not so closely tied to current professional practice as
“intelligence” or “cognitive ability”. Even so, “intellectual ability” turns out to be a
tool for comparing unlike with unlike. Behavioural scientists with an operationalist
mind-set do not regard its philosophical incoherence as problematic.1 Its historical
instability should therefore be even less so: at best the problems may be merely his-
torical, and therefore an irrelevance. And although there have been many critics of
psychometric intelligence, they tend to leave intact the broader notions of intellectual
ability which subsume it. I use “intellectual ability” not only because it seems to
point to something more firmly rooted than “intelligence” but precisely because the
root is what I want to get at. The particular importance of speed to this critique will
be clear in due course.
First, some terminological continuities and discontinuities. The word that would
eventually become “ability” was, in Greek philosophy, dynamis. It had a metaphysical
significance which meant that it could easily be associated with psyche, the principle
of growth and movement in living beings.2 Dynamis thus belongs to the “nature” of
a being in this very broad sense; likewise, each natural constituent of a creature’s
life can have its own “ability” or potentiality. There is nevertheless a watertight cat-
egory boundary between ability and actuality. The ability as such is not the ability as
exercised.3 On the grounds that they belong to different genera, Aristotle explicitly
denies that the actuality of human “understanding” (episteme) can be classified as
an ability (dynamis).4 Galen maintains this metaphysical distinction in the particular
field of medicine. Here, dynamis is that which “rules” the body’s chief organs (liver,
heart, and head). Any deficiency is a deficiency in the actuality of matter; there can
be no weakness of dynamis, the more fundamental category.5
In scholastic and Renaissance medicine, ability (facultas, potentia) becomes a
“quality” or secondary characteristic of these bodily organs. Intellect takes over the
role previously allotted to psyche.6 “Ability” is both an aspect of this general intel-
lective soul and an indicator of the health of the organic soul in individual brains.
This makes possible an erosion of the category distinction between ability and actu-
ality, which is now preserved only in the philosophy of mind. Modern psychology
is conditional upon its abolition, and intellectual (dis)ability is coterminous with
performance. This general intelligence, g, was clearly viewed by its inventor Charles
Spearman as a personal possession.7 In a broader, quotidian sense his view is prob-
ably shared today not only by psychologists and psychometricians but by educated
people in general, even perhaps off-duty critical historians.
The terminological history, then, is broken as one might expect by semantic leaps.
What happens if we reverse the perspective and ask what place, if any, was occupied
in the past by the individualized intellectual abilities and disabilities which psychol-
ogy recognizes today?
Take the specific content of cognitive ability tests as an example. We can see
that they have undergone regular short-term modifications, in response to criticism
which most psychometricians have seen as an ideological intrusion, motivated by
egalitarianism. Developmental testing in particular has moved away from culturally
relative tasks towards more abstract ones claiming greater universality. But the very
act of responding to criticism is necessarily a collusion with the ideology deemed
to be behind the original critique. And the fact that modification takes place at all
belies, from the historian’s standpoint, any claim to exact-science status that might
be made for intellectual ability as such. History undermines not just the claim that
it is possible to measure intellectual ability but also the claim that ability itself has
the long-term stability of content which any exact science might expect from its
object of study.8 It is true that changes which look like leaps are often steps. When
Binet invented the world’s “first” intelligence test, at the request of a republican,
anti-clerical government in France which sought criteria for excluding intellectually
disabled children from its newly established state schools, his method was simply a
secular mutation of the catechism in the church schools which they replaced.9 The
catechism, with its IQ-like format of brief questions and answers, had long been the
framework within which literacy teaching and formal testing occurred in schools,
and its religious character meant that its content was subject, like the developmental
or cognitive ability test, to ideological modification in pursuit of universality.10 In
England, the secular curriculum in mass education came largely from the dissenting
academies, suggesting a similar process. Psychological testing of schoolchildren
was an organic development from these existing methods of everyday classroom
assessment.11 Intellectual (dis)ability is, in this functionalist sense, an adaptation
going as far back as the early church, with its fear of holy rites’ being polluted by
incompetent catechumens. However, this methodological continuity in testing and

segregation, with step changes from catechisms to CATs, has been accompanied by
a radical discontinuity in their actual content.
At the same time certain longer-term psychological discourses have persisted, with
a weightier claim to historical stability and indeed to scientific status that comes from
their tendency to define the place of the human species in natural history. The first of
these defining abilities is logical reasoning. A subjective aspect, a precise location in
the human intellect, was first ascribed to it in medieval philosophy, as we shall see
below, though it was Binet’s pupil Piaget who found a formal place for “mental logic”
in modern conceptualizations of intellectual ability.12 The second ability, now closely
identified with logic but with quite distinct historical origins, is abstract thought. The
abstraction of universals from particulars is first systematically described by Arab
philosophers such as Ibn Sina [Avicenna] and their scholastic descendants.13 Now
definitive of what it is to be human, but then a secondary characteristic indicating
differential social and religious status, abstraction has remained an extremely stable
and important ingredient of applied psychologies (cognitive, developmental, educa-
tional, clinical). The third long-term ability, which can be found even earlier, is the
storage and retrieval, or receipt and processing, of information. This is not quite of
the same order as the first two, since it has never been clear whether this was intel-
lectual ability per se, one particular ability, or a mere mechanism facilitating such
abilities. Classical authors use it in this last sense, the narrower instrumental one,
whereas today it often defines our humanity, in which sense it has begun to subsume
the other two. Modern psychology says all these abilities are permanent: they are
natural and constitute membership of the human species. Histories of psychology
based on this standpoint suggest, in addition, that the belief that this is the case is
itself permanent (and thus natural), at least from the Greeks onwards.14
Moving on from intellectual ability as such to concepts of speed, we might expect
these to have a stronger transtemporal identity. However, if we ask basic questions
— what is moving faster? what causes it? — discontinuities emerge. Classical and
Renaissance authors are scarcely interested in measuring anything, let alone intel-
lect. Today, speed is one of psychology’s main preoccupations. The measurable
speed of immaterial “mental processes” is tied to that of material entities. Hence,
for example, research into “the cortical glucose metabolic rate correlates of abstract
reasoning”.15 In Galenist medicine, mental processes (and the very phrase is anach-
ronistic) had been explained by “elements”, “humours” and “animal spirits” whose
material existence, albeit invisible, was beyond question: no mental process could
be anything other than an organic facet of the composition and movement of mate-
rial phenomena. The identification and measurement of separate mental processes,
however, has the Cartesian divide as its precondition: if machine-like bodies can be
measured, so too can minds. Now measuring metabolic rates in the brain is in princi-
ple an uncomplicated task, at least from the biochemist’s own particular perspective.
But asking what “abstract thought” is, even without sceptical intent, is a question of
greater complexity than asking what cortical glucose is. So does this mean that the
speed of such an intangible cannot be measured in a similarly uncomplicated way, by
the psychometrician? The claim that intellectual ability, considered separately from
time, is a suitable case for measurement has been conclusively refuted from within
psychometrics itself, by Michell.16 However, time itself has problems. Post-Kantian
psychology assumed as self-evident that mental processes exist in time and therefore
can be measured. Reaction times may bear this out experimentally. But the validity of
applying measurement to what I shall call ability time, the element of speed within
complex cognitive abilities, remains unquestioned.
Turning now to the relationship itself, between speed and intellectual ability, we
can see that there have always been at least three ways of conceptualizing it. Each
comes with inseparable cultural baggage: one way is better than another.
In the first model, the operational speed of intellectual ability is an absolute value:
fast is good. This way of conceiving the relationship, the particular focus of the present
article, is a minority strand in Renaissance and early modern psychology. It seems
to be a habit that got attached to the routine discussion of just a couple of ancient
texts. But these same Renaissance texts are precisely, if not exclusively, where we
can also find the lineaments of a specifically human “intellectual ability” anticipating
our own. In the modern, psychometric version of this model, a positive answer to the
question “Can the speed of intellectual abilities be measured?” has, buried within it,
a positive answer to the quite separate question, “Does quicker mean better?”. Only
occasionally do we find this tempered by the realization that speed and accuracy
may be in conflict with each other.
The second model, axiomatic in classical and Renaissance texts, is one of balance.
In the Hippocratic corpus, for example, a healthy intellect (phronesis) is a correct
“blend” between fire and water, the basic stuffs of the universe which constitute a
quasi-materialist psyche.17 Excess fire makes the intellect too quick (and thus inef-
fective), excess water too slow. Balance informs almost everything Galen and later
Galenists have to say about intellectual functions, the particular texts discussed below
being exceptions. In any case, the Galenists’ concern is not a detachable intellectual
ability but intellectual impairment as a sign in acute bodily diseases (the brain being
simply another organ of the body). Through to the eighteenth century European
doctors described brain health as a mean between mania (fast) and various forms
of melancholy (slow), phrenitis (fast) and lethargy (slow), or some similar pairing,
where “too much Stupid, or Stirr’d” seamlessly describes both external behaviour
and internal (material) mechanisms such as the animal spirits.18 The actual content
of the fast/slow template varies, because it does not exist in a cultural vacuum. Late
seventeenth-century norms of religious moderation, for example, identified it as
a mean between antinomian enthusiasm (fast, mad) and Romanist idolatry (slow,
idiotic). Nineteenth-century bureaucrats and administrators sought to distinguish
madness (fast) from idiotism (slow). In modern times balance survives, for example,
in the movement of neuronal signals, which may be hyper- or hypo-, between con-
trasting psychopathological conditions or within the same one. The mean, however,
is no longer a balance between different elemental qualities but quantitative, the
average value of a single parameter. And the clearly ethical subtext of the ancient
model has gone.
The third model is the retrograde of the first. Here slowness is an absolute value,
as in some non-Western accounts of understanding.19 There is also the Western tra-
dition of “learned ignorance”.20 Rational mental processes slow down to the point
of non-existence: knowledge is reached by evacuating them from the mind. Fast
and slow models meet at their respective extremes in a state of immediacy; in Arab
natural philosophy it is often difficult to know which of the two models is meant,
for precisely that reason.21 The fool who is void of rational thought and thus open
to divine truths, and the “prophet” who can intuit them without laboriously working
through syllogisms, are alike inasmuch as knowledge arrives in zero time. But the
two models, fast and slow, are not fully symmetrical. In my ability to slow down my
intellect until my mind is empty, a semantic distinction at least is clear: I have the
ability to empty my mind of all other abilities apart from that one. In the fast model,
the category distinction between ability and actual performance (the speed at which
ability operates) tends to disappear.




ReaD MorE...

Spiritualitas

0 komentar

Belakangan ini semakin menjamur kelompok-kelompok studi atau sejenisnya yang menyatakan kelompoknya sebagai kelompok spiritual. Bahkan kata ’spiritual’ kini sudah semakin terdengar klise dengan terjadinya pergeseran makna dalam penggunaannya. Sebagai istilah, ia telah semakin dikacaukan dengan berbagai

bentuk kanuragan, “pengeleakan”, “pengiwe”, praktek pedukunan, praktek medium/ cenayang/ “pepeluasan”, atau fenomena okultistik lainnya, bahkan sampai-sampai mendekati ketakhyulan. Ironis memang. Kata spiritual, kini semakin kehilangan spirit-nya. Bukan hanya karena pergeseran-pergeseran pemaknaan seperti itu, akan tetapi berbagai keterbatasan lahiriah dan naluriah, kecenderungan-kecenderungan serta pengkondisi-pengkondisi lainnya, telah menyulitkan kita untuk memahami spirit, sang jiwa, sang roh, “sang dumadi”, “sanghyang urip” yang ada pada setiap makhluk berjiwa, yang justru merupakan isu utama dunia spiritual.

Walaupun pengetahuan tentang spiritualitas dapat dipelajari dari buku-buku atau didengarkan lewat ceramah-ceramah, namun kehidupan spiritual itu sendiri harus dijalani, harus dialami secara langsung sendiri; ia harus dilakoni. Ia bukanlah sesuatu yang bersifat teoritis, yang terdiri dari susunan dari berbagai konsep dan pemikiran-pemikiran ataupun produk intelek semata. Bila Anda masih memandangnya demikian hingga detik ini, sudahilah; hapuslah sangkaan itu dari benak Anda.

Selama seseorang masih membeda-bedakan (diskriminatif) semata-mata hanya berdasarkan ras, keturunan, warna kulit, suku, kebangsaan, jenis kelamin, agama, usia, pangkat, jabatan, profesi, kekayaan, status sosial dan kwalitas duniawi yang merupakan produk dari pandangan kasat, maka ia sebetulnya belum benar-benar siap untuk memasuki kehidupan spiritual manapun.

Walaupun ke-niskala-an adalah keniscayaan adanya, namun kecenderungan indriawi serta pola-pikir yang serba kasat-indria telah menghalangi kita untuk dapat melihat keniscayaannya. Al hasil, spiritualitas tetap kabur di mata kita. Ia tetap menyisakan pertanyaan yang mesti dijawab sendiri.

ReaD MorE...

KECERDASAN EMOSI

0 komentar

Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya.

Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.

Jadi orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan-perasaan, tetapi juga memahami apa artinya. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat kita, mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan orang itu kita rasakan juga.

Tidak ada standar test EQ yang resmi dan baku. Namun kecerdasan Emosi dapat ditingkatkan, baik terukur maupun tidak. Tetapi dampaknya dapat dirasakan baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Banyak ahli berpendapat kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup.

Setidaknya ada 5 unsur yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:
1. Memahami emosi-emosi sendiri
2. Mampu mengelola emosi-emosi sendiri
3. Memotivasi diri sendiri
4. Memahami emosi-emosi orang lain
5. Mampu membina hubungan sosial

Sejauh mana kecerdasan emosi anda? Untuk mengetahuinya, kelima unsur diatas dapat dijadikan barometer untuk mengukur apakah anda termasuk orang yang cerdas secara emosi. Berikut ini adalah hal-hal spesifik yang perlu dipahami dan dimiliki oleh orang-orang yang cerdas secara emosi:

Mengatasi Stress
Stress merupakan tekanan yang timbul akibat beban hidup. Stress dapat dialami oleh siapa saja. Toleransi terhadap stress merupakan kemampuan untuk bertahan terhadap peristiwa-peristiwa buruk dan situasi penuh tekanan tanpa menjadi hancur. Ini berarti mengelola stress dengan positif dan merubahnya menjadi pengaruh yang baik.
Orang yang cerdas secara emosional mampu menghadapi kesulitan hidup dengan kepala tegak, tegar dan tidak hanyut oleh emosi yang kuat. Cenderung menghadapi semua hal, bukannya lari dan menghindar. Dapat mengelakkan pukulan sehingga tidak hancur dan tetap terkendali. Mungkin sesekali terjatuh namun tidak terpuruk sehingga dapat berdiri tegak kembali.

Mengendalikan Dorongan Hati
Merupakan karakteristik emosi untuk menunda kesenangan sesaat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hal ini sering juga disebut “menahan diri”.
Orang yang cerdas secara emosi tidak memakai prinsip “harus memiliki segalanya saat itu juga”. Mengendalikan dorongan hati merupakan salah satu seni bersabar dan menukar rasa sakit atau kesulitan saat ini dengan kesenangan yang jauh lebih besar dimasa yang akan datang. Kecerdasan emosi penuh dengan perhitungan.

Mengelola Suasana Hati
Merupakan kemampuan emosionil yang meliputi kecakapan untuk tetap tenang dalam suasana apapun, menghilangkan gelisahan yang timbul, mengatasi kesedihan atau berdamai dengan sesuatu yang menjengkelkan.

Orang yang cerdas secara emosi tidak berada dibawah kekuasaan emosi. Mereka akan cepat kembali bersemangat apapun situasi yang menghadang dan tahu cara menenangkan diri.

Mengelola suasana hati bukan berarti menekan perasaan. Salah satu ekspresi emosi yang bisa timbul bagi setiap orang adalah marah. Menurut Aristoteles, Marah itu mudah. Tetapi untuk marah kepada orang yang tepat, tingkat yang tepat, waktu, tujuan dan dengan cara yang tepat, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas secara emosi.

Ketiga hal tersebut diatas, merupakan kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi-emosi diri sendiri yang harus dimiliki oleh orang-orang yang dikatakan cerdas secara emosi.

Memotivasi Diri
Orang dengan keterampilan ini cenderung sangat produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka hadapi. Ada banyak cara untuk memotivasi diri sendiri antra lain dengan banyak membaca buku atau artikel-artikel positif, “selftalk”, tetap fokus pada impian-impian, evaluasi diri dan sebagainya.

Memahami Orang lain
Menyadari dan menghargai perasaan-perasaan orang lain adalah hal terpenting dalam kecerdasan emosi. Hal ini juga biasa disebut dengan empati.
Empati bisa juga berarti melihat dunia dari mata orang lain. Ini berarti juga dapat membaca dan memahami emosi-emosi orang lain.
Memahami perasaan orang lain tidak harus mendikte tindakan kita. Menjadi pendengar yang baik tidak berarti harus setuju dengan apapun yang kita dengar.
Keuntungan dari memahami orang lain adalah kita lebih banyak pilihan tentang cara bersikap dan memiliki peluang lebih baik untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan baik dengan orang lain.

Kemampuan Sosial
Memiliki perhatian mendasar terhadap orang lain. Orang yang mempunyai kemampuan sosial dapat bergaul dengan siapa saja, menyenangkan dan tenggang rasa terhadap orang lain ynag berbeda dengan dirinya.

Tingkah laku seperti itu memerlukan harga diri yang tinggi, yaitu: menerima diri sendiri apa adanya, tidak perlu membuktikan apapun (baik pada diri sendiri maupun orang lain), bahagia dan puas pada diri sendiri apapun keadaannya.

Kemampuan sosial erat hubungannya dengan keterampilan menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang cerdas secara emosi mampu menjalin hubungan sosial dengan siapa saja. Orang-orang senang berada disekitar mereka dan merasa bahwa hubungan ini berharga dan menyenangkan. Ini berarti kedua belah pihak dapat menjadi diri mereka sendiri.
Orang-orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi bisa membuat orang lain merasa tentram dan nyaman berada didekatnya. Mereka menebar kehangatan dan keterbukaan atau transparansi dengan cara yang tepat.

Apakah Anda Termasuk Orang yang Cerdas secara Emosi?
Anda dan orang-orang disekitar Anda-lah yang tahu.

Atau Anda ingin menjadi Orang yang Cerdas secara Emosi?
Sepertinya tidak terlalu sulit bukan?
Selamat mencoba, Semoga Berhasil.

ReaD MorE...

 
Minima 4 coloum Blogger Template by Beloon-Online.
Simplicity Edited by Ipiet's Template